
Menghadapi Kebuntuan dalam Menulis
Ada momen-momen dalam kehidupan ini yang terasa sangat absurd. Seperti ketika kita sedang penuh semangat untuk menulis, mood sudah diatur dengan baik, kopi telah tersedia, dan playlist musik favorit mengalun lembut di sekitar. Bahkan punggung kita sudah bersandar nyaman di kursi kerja. Namun, saat laptop dinyalakan dan layar kosong di Word muncul, semua semangat tiba-tiba lenyap. Otak terasa blank, jari-jari enggan bergerak, dan kalimat pertama tak kunjung terbentuk.
Yang terlintas di kepala hanyalah: “Shit… gue mau nulis apa ya? Bingung banget!” Mau menulis tentang cinta, terlalu klise. Menulis tentang keresahan, bingung dari mana memulai. Kalau menulis tentang pengalaman pribadi, merasa hidup terlalu biasa saja untuk diceritakan. Akhirnya hanya bisa bengong, sementara cursor di layar hanya berkedip sinis menghadap kita.
Kita berharap ide muncul tiba-tiba seperti iklan YouTube yang sering muncul saat fokus mendengarkan podcast atau iklan yang mengganggu saat mendengarkan Spotify. Sayangnya, inspirasi tidak selalu datang begitu saja. Tapi, ada hal menarik jika kita bersedia membuka sudut pandang baru: kebingungan itu sendiri bisa menjadi bahan tulisan.
Sering kali kita terlalu sibuk menunggu ide besar, menunggu momen “a-ha!” ala film biopik penulis terkenal. Padahal menulis bukan soal menunggu wangsit. Menulis adalah tentang mulai dulu.
Selama ini kita terlalu mengharapkan inspirasi. Kita pikir menulis harus dimulai dari ide besar, pemikiran mendalam, atau keresahan yang mengguncang batin. Kita menunggu ilham surgawi yang jatuh dari langit dalam bentuk judul keren dan outline rapi. Padahal kenyataannya, sebagian besar tulisan bagus justru lahir dari kebingungan.
Kebingungan adalah ruang kosong yang luas, seperti lahan tidur yang belum pernah terjamah. Terlihat hening, bahkan kadang menyebalkan. Tapi siapa sangka dari tanah inilah benih-benih pemikiran paling liar dan jujur tumbuh. Seperti Rene Descartes yang menemukan pemikiran eksistensi manusia dari kebingungan dirinya sendiri.
Tidak jarang kita tidak menulis karena tidak punya ide. Tapi karena takut tulisan tidak sempurna. Takut tidak berbobot, tidak relevan, dan membayangkan hasil akhir yang harus mengesankan. Akhirnya, kita tidak memulai sama sekali. Padahal, tulisan tulus tidak perlu selalu dalam. Yang penting adalah hadir. Seperti kalimat sederhana:
“Aku bingung hari ini. Aku sudah duduk sehari di depan layar dan tidak tahu harus menulis apa,” cukup menjadi pembuka yang menarik.
Masa begitu aja menarik? Ya, justru ini menarik karena jujur, otentik, dekat dengan kita. Hampir semua orang pernah berada di posisi ini, tapi tidak banyak yang mau menuliskannya. Dari satu kalimat jujur, tulisan bisa tumbuh pelan-pelan, seperti dialog batin yang hangat.
Siapa yang tidak pernah merasa stuck? Bahkan penulis yang sudah menerbitkan puluhan buku pernah merasakan hal yang sama. Bedanya, mereka terus menulis meski kadang kepala kosong. Mereka tahu bahwa tulisan bagus tidak datang dari langit. Ia hadir melalui proses duduk, mengetik, menghapus, mengulang, meragukan, lalu berdamai dengan apa yang ada. Meski terkadang, yang ada hanyalah rasa buntu.
Dari kebuntuan ini, kita bisa belajar. Belajar jujur pada diri sendiri, dan tahu bahwa menulis bukan sekadar teknis, tapi juga hati. Kadang kita tidak kehabisan ide, tapi kehabisan keberanian menulis hal-hal yang tampak remeh namun bermakna. Kita merasa harus menulis sesuatu yang besar, padahal tulisan kecil pun bisa berdampak selama ditulis dari tempat tulus.
Seperti tulisan ini yang lahir dari rasa buntu. Dari kegagalan menulis tentang cinta, keresahan, atau pengalaman hidup yang katanya "wah". Tapi siapa yang menyangka dari kebuntuan ini muncul sesuatu yang bisa kita ajak ngobrol. Kita bisa bercermin dengannya, bilang “Oh ternyata, gue gak sendirian ya yang sering stuck begini.”
Kadang kita lupa bahwa tulisan bukan selalu tentang menyampaikan sesuatu pada orang lain. Bisa saja hanya tentang mendengarkan suara sendiri yang tenggelam di dalam hiruk pikuk pikiran. Bisa saja hanya tentang duduk sejenak, membuka laptop, dan mengetik: “Gue nggak tahu harus nulis apa hari ini.” Dan itu cukup. Itu valid.
Menulis seperti ngobrol sama diri sendiri. Tidak perlu takut salah, tidak perlu takut dinilai. Toh, tidak ada standar pasti untuk tulisan yang “bagus”. Bahkan tulisan berantakan pun bisa menyentuh hati, asal lahir dari kejujuran. Kita terlalu lama hidup dalam bayang-bayang kesempurnaan, sampai lupa bahwa yang paling menyembuhkan justru ketidaksempurnaan yang kita peluk.
Jika hari ini kamu buntu, ya udah, tulis aja tentang buntunya. Besok kalau buntu lagi, tulis lagi. Nanti lama-lama, tulisan-tulisan itu akan menyusun dirinya sendiri jadi peta: peta yang menunjukkan perjalanan kamu melewati kekosongan demi kekosongan. Dan siapa tahu, di tengah peta itu kamu menemukan makna.
Karena bisa jadi, kebuntuan ini bukan tanda kamu gagal. Tapi tanda kamu jujur. Bahwa kamu sedang berhenti sejenak untuk mendengarkan. Bahwa kamu mencari bukan karena kosong, tapi karena tahu: di dalam sunyi ada sesuatu yang ingin bicara, dan mungkin… tulisan ini adalah buktinya.
0 Comments