
Teater Darpana: Ruang Refleksi Kekuasaan dan Realita
Pertunjukan teater yang berlangsung di Gedung Kesenian Jombang semalam menghadirkan pengalaman yang tak terlupakan bagi para penonton. Malam yang belum larut, namun suasana sudah penuh dengan antusiasme. Penonton yang duduk di kursi-kursi yang mulai penuh saling berbisik, mencoba menebak alur cerita yang akan mereka saksikan.
Teater Darpana, produksi ke-44 dari Komunitas TomboAti, bukan sekadar pertunjukan biasa. Ia menjadi ruang refleksi kolektif tentang kekuasaan, keluarga, dan kesulitan berdamai dengan masa lalu. Dengan nuansa istana dan elemen pewayangan, pertunjukan ini dibuka dengan visual yang menarik, termasuk singgasana megah, cermin besar sebagai latar, serta busana pemeran yang bergaya kerajaan.
Gelak tawa sempat mengisi suasana ketika Cak Ukil, komedian lokal yang baru saja pulang dari ibadah haji, hadir dengan gaya khasnya sebagai Kidang Alit. Namun seiring waktu berjalan, penonton mulai merasakan aroma getir yang terselubung dalam cerita jenaka itu.
Tokoh utama, Aryo, digambarkan sebagai mantan figur publik yang kesulitan melepas statusnya. Ia tidak sanggup menerima kenyataan hidup setelah masa kejayaannya, sehingga membangun dunia sendiri dalam rumah sebuah kerajaan imajiner. Di sana, ia menjadi Dasamuka, sang raja agung. Keluarga dan orang-orang terdekatnya dipaksa bermain peran sesuai dunia rekaan Aryo.
Sutradara Darpana, Imam Ghozali Ar., yang baru saja memasuki masa pensiun, menjelaskan bahwa cerita ini bukan hanya tentang Aryo, melainkan potret manusia yang sedang bergumul dengan realita pasca kekuasaan. “Ini tentang Post Power Syndrome. Tentang mereka yang terlalu lama berada di atas, hingga tak sanggup turun dan menjadi biasa,” ujarnya usai pementasan perdana.
Lebih dari sekadar drama panggung, Darpana mengulas lapisan-lapisan jiwa manusia. Ketika Aryo tak lagi mampu membedakan realita dan delusi, keluarganya berada di titik genting. Mereka harus memilih antara mempertahankan delusi demi harmoni semu atau mengambil keputusan menyakitkan dengan merawat Aryo secara medis. Momen ketika mereka akhirnya memutuskan membawa Aryo ke rumah sakit jiwa menjadi klimaks emosional yang pahit namun penuh kasih.
Penulis naskah, Fandi Ahmad, menjelaskan bahwa Darpana merupakan adaptasi dari naskah legendaris Nano Riantiarno, Maaf, Maaf, Maaf. Namun, alur tersebut diolah ulang agar relevan dengan konteks hari ini. “Kami ambil struktur utama, sekitar 60 persennya. Sisanya kami gubah agar sesuai dengan kondisi sosial masyarakat sekarang, termasuk inspirasi dari pengalaman pribadi Mas Imam sebagai pensiunan,” ujar Fandi.
Pemilihan judul Darpana, yang dalam bahasa Sanskerta berarti cermin, menjadi simbol utama dalam narasi. Panggung tak hanya menjadi arena bermain para aktor, melainkan cermin besar tempat penonton melihat pantulan diri mereka sendiri. “Aryo bisa siapa saja. Bisa saya, bisa Anda. Jika tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan, kita bisa terperangkap dalam kenangan, dan itu bisa sangat berbahaya,” ungkap Imam.
Selama dua jam, penonton diajak naik-turun emosi. Dari tawa, iba, haru, hingga senyap yang menyesak. Panggung Darpana bukan sekadar pertunjukan, tetapi ruang perenungan dalam diam. Bahkan ketika tirai telah turun, bayang-bayang cerita Aryo masih bergema di benak penonton yang melangkah keluar dalam hening.
Sebagai bagian dari perayaan 29 tahun Komunitas TomboAti, Darpana bukan hanya simbol konsistensi berkesenian, tapi juga penegasan bahwa teater masih relevan sebagai media penyadaran. “Teater tidak harus teriak-teriak untuk menggugah. Kadang cukup menjadi cermin. Dan itulah yang kami coba hadirkan,” pungkasnya.
Pertunjukan Darpana dijadwalkan berlangsung dari 1 hingga 3 Agustus 2025 di Gedung Kesenian Jombang, dengan empat sesi penayangan. Bagi mereka yang sempat menyaksikannya, Darpana bukan hanya hiburan, tetapi pelajaran halus tentang bagaimana manusia menghadapi kenyataan yang berubah.
0 Comments