Angin Malam yang Menggoyang Jiwa (Bagian Awal)

Featured Image

Kehidupan di Rumah Sakit

Sore itu, langit terlihat cerah. Tapi cuaca luar terasa sangat panas. Awak merasa lelah, duduk di samping meja sambil memegang gelas yang ada di atasnya.

Sudah hampir setahun sejak dirawat di rumah sakit ini. Meskipun tidak begitu nyaman, ruangan terlihat rapi dan bersih. Udara dingin karena AC, bahkan lebih baik dari hotel bintang empat. Dengan keadaan seperti ini, segala sesuatu terasa tenang. Ia percaya pada kata-kata ustadz, serta mengikuti semua perintah yang diberikan, karena yakin bahwa semuanya dilakukan dengan izin Tuhan. Ia berharap bisa membersihkan beberapa dosa yang pernah ia lakukan.

Jika tidak ingin sakit, maka jangan makan terlalu banyak. Maksudnya adalah untuk tidak mengabaikan kesehatan, meskipun sedang dalam kondisi yang baik. Ia mencoba menjaga diri, tanpa merasa terbebani. Ia merasa kesepian, sendiri di rumah sakit ini. Tadi malam, adik bungsunya datang mengunjungi, namun pagi hari ia kembali bekerja. Adik bungsunya juga sudah kembali ke rumah tangganya, hanya saja masih harus menjaga anak-anak.

Karena pekerjaannya, adik bungsunya harus mengikuti pelatihan di luar kota. Oleh karena itu, ia harus belajar mandiri. Semua hal harus dilakukan sendiri, termasuk menjaga kesehatan.

Suara pintu terbuka, dan tidak ada yang mengganggu. Perawat biasanya datang untuk mengecek tekanan darah. Beberapa orang datang dan pergi, tetapi tidak ada yang mengganggu.

"Mah, siapa yang ada di sini?" Ia tidak menyangka bahwa ibunya akan datang ke rumah sakit. Ada apa? Ia hanya datang untuk berkunjung. Ya Tuhan, maafkan aku, Tuhan. Hatinya menjadi gugup. Ia hanya memiliki ibu, dan hanya datang jika ada keperluan.

"Ada kabar dari Arga, Nyai dirawat. Tadi ketemu di tukang bubur. Malam ini dia tidak bisa datang karena ada pelatihan." Ibu duduk di kursi di samping tempat tidur.

"Arga mengirimkan ibu ke sini?" Ia bertanya.

"Tidak, hanya sekadar. Mengapa Nyai sakit?" Ibu tampak khawatir.

Ia merasa sedih, dan ia datang ke rumah sakit hanya untuk menemui ibu. Di rumah sakit, ia merasa cukup baik. Jika agak parah, biasanya dibaluri dengan bawang putih seperti obat tradisional. Bawang putih terasa hangat, dan membuat rasa nyaman. Jauh dari ibu, bawang putih ini terasa tidak dekat.

Ia tinggal bersama nenek. Sejak usia 40 hari, ia diserahkan kepada nenek. Ibu tidak bisa merawatnya. Karena alasan itu, ibu diserahkan oleh ayahnya selama sebulan saat barang-barangnya rusak. Akhirnya, ayah tergoda oleh wanita lain. Sejak awal, ibu mengeluh tentang kesedihan yang dialami karena bekerja di pertanian, sampai akhirnya menikah lagi. Ia tinggal diurus oleh nenek dan pamannya hingga masuk sekolah. Hubungan dengan orang tua hanya saat upacara pernikahan, dan ayah datang untuk mengantarkan.

Setelah ayah meninggalkan mereka, ibu berjuang sendirian untuk mengurus dua adiknya. Ia juga sering melihat nenek. Setelah nenek dan pamannya meninggal, nasibnya ditentukan oleh mereka. Ia diajarkan untuk hormat kepada orang tua. Meski Tuhan memberinya banyak rezeki, ia tidak pernah meminta apa-apa dari ibu.

Sekarang, adik-adiknya telah lulus. Hidup mandiri, dan bahkan adik bungsu yang dulu suka bermain juga sudah tinggal sendiri.

"Semoga Tuhan mengangkatmu, Mah." Ia menyampaikan doa tanpa mengatakan apapun.

"Semoga kamu sehat, Nyai." Ibu tersenyum. Ia hanya tertawa.

Hatinya terasa sedih sendirian, bagaimana ibu memperlakukannya? Apakah dulu Nyai ditinggalkan bersama nenek? Apakah ibu tidak pernah ingat Nyai, seperti memberi baju atau buku? Adik-adiknya dulu diberi motor untuk kuliah, Agus juga demikian. Pakaian mereka terlihat bagus, dan setiap Lebaran selalu baru. Meski Nyai tidak kurang, nenek dan pamannya selalu memberi pakaian. Tapi ia selalu ingin, hadiah dari ibu. Bahkan ayahnya pun, tidak pernah ada.

"Sapa yang ingin pulang, Mah. Semoga menjadi penghapus dosa-dosa Nyai." Pondok menjawab.

Post a Comment

0 Comments