
Pengalaman yang Menggugah Jiwa di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II
Pagi itu, saya berjalan perlahan di pelataran Museum Sultan Mahmud Badaruddin II di Palembang. Sinar matahari menyinari batu-batu yang diam. Tidak ada keramaian wisatawan, hanya keheningan yang mengisi ruang. Di tengah suasana tenang ini, empat artefak berdiri membisu: dua arca Ganesha, satu arca Singa, dan sebuah meriam. Benda-benda tua tersebut bukan sekadar benda koleksi, tetapi penjaga sejarah yang pernah hidup dalam tubuh negeri ini.
Saya tidak datang sebagai turis biasa. Saya datang sebagai penziarah, ingin menyapa masa lalu, menautkan luka dan harapan, serta mendengar kembali suara-suara yang nyaris hilang dari narasi bangsa. Setiap artefak memiliki cerita yang unik, dan setiap langkah yang saya ambil di pelataran museum terasa penuh makna.
Arca Ganesha Utuh: Cahaya Sriwijaya yang Melembutkan Kuasa
Arca pertama yang saya temui adalah Ganesha yang utuh. Ia duduk dengan belalai menyentuh mangkuk modaka. Bukan hanya dewa penghalau rintangan, tapi juga simbol ilmu, pelindung para pelajar, dan welas asih dalam kekuasaan Sriwijaya.
Arca ini berasal dari kawasan Bukit Siguntang, pusat spiritual dan pendidikan pada masa kejayaan Sriwijaya. Dipindahkan ke museum sekitar awal 1980-an sebagai upaya pelestarian, ia kini berdiri di pelataran, menyapa siapa pun yang ingin belajar dan bertanya.
Melihatnya, saya merasa seperti mendengar pesannya: "Kemajuan tanpa ilmu adalah kegaduhan; kekuasaan tanpa kebijaksanaan adalah kehampaan."
Arca Ganesha Sketsa: Sejarah yang Terhenti di Talang Tuho
Arca kedua yang saya temui adalah Ganesha yang belum selesai. Wajahnya belum dipahat, tubuhnya belum utuh. Ia seperti naskah yang ditinggalkan di tengah kalimat.
Ditemukan di Talang Tuho, lokasi yang disebut dalam Prasasti Kedukan Bukit sebagai awal mula Sriwijaya berdiri, arca ini kemungkinan merupakan bagian dari proyek spiritual yang terhenti. Invasi, perubahan politik, atau kehancuran peradaban mungkin menghentikan rencana itu.
Ia dipindahkan ke museum sekitar tahun 1984 bersama sejumlah koleksi Sriwijaya lainnya. Melihatnya, saya seperti melihat potret bangsa yang narasinya belum selesai. Saya bertanya dalam hati: "Apa yang belum sempat kita tulis sebagai bangsa?"
Arca Singa Tanpa Kepala: Penjaga Dharma yang Terluka
Arca ketiga adalah Singa, namun kepalanya hilang. Ia berdiri tegak, kaku, namun tak lagi utuh. Dalam tradisi Hindu-Buddha, Singa adalah pelindung dharma. Ia ditempatkan di gerbang candi, pintu kerajaan, atau pusat-pusat spiritual sebagai simbol keberanian dan kewaspadaan.
Singa ini ditemukan di sekitar Benteng Kuto Besak, pusat pertahanan Kesultanan Palembang. Arca ini dipindahkan setelah benteng dan kota dirusak oleh kolonial Inggris pada 1823. Kepalanya mungkin hilang dalam perang atau penjarahan. Kini ia menjadi bagian dari koleksi tetap museum.
Saya menatapnya, dan dalam sunyi saya mendengar: "Keberanian tidak selalu utuh. Kadang ia berdiri dengan luka, tapi tetap menjaga."
Meriam Sunyi: Senjata yang Menjadi Saksi Kedaulatan
Di sudut pelataran, sebuah meriam tua berdiri membisu. Besi cor berwarna gelap, kokoh namun tidak lagi mengancam. Ia adalah bagian dari sistem pertahanan Kesultanan Palembang, kemungkinan berasal dari Benteng Kuto Besak atau reruntuhan istana Kuta Lama yang dihancurkan oleh Inggris.
Meriam ini bukan lagi senjata. Ia menjadi saksi atas perlawanan lokal, kehancuran istana, dan transisi kota dari pusat kuasa ke kota kolonial. Dipindahkan ke museum sebagai bagian dari upaya mengabadikan jejak kedaulatan yang dirampas.
Saya menyentuh dingin besinya dan merenung: "Tidak semua perlawanan berakhir dengan kemenangan, tapi semua perlawanan berhak untuk diingat."
Museum sebagai Ruang Pemulihan, Bukan Sekadar Penyimpanan
Museum Sultan Mahmud Badaruddin II berdiri di atas reruntuhan istana Kuta Lama. Bangunan ini pernah menjadi rumah residen Belanda, markas Jepang, dan kantor militer sebelum diresmikan sebagai museum tahun 1984.
Museum ini menyimpan bukan hanya artefak, tapi juga luka, narasi yang diredam, dan harapan yang masih terjaga. Ia bukan sekadar tempat menyimpan benda, tetapi panggung bagi kita untuk menata ulang masa lalu—dengan jujur, bukan dengan nostalgia.
Ziarah yang Menghidupkan dan Memulihkan
Perjalanan saya di Palembang bukan sekadar berlibur, tetapi juga ziarah. Saya bertemu empat artefak yang tidak bicara, tapi semua berbicara. Mereka menyentuh jiwa saya, mengajak untuk melihat sejarah sebagai cermin, bukan sekadar cerita.
Empat penjaga itu mengajarkan saya: - Bahwa ilmu adalah warisan spiritual, bukan hanya produk akademik. - Bahwa sejarah yang terhenti harus kita lanjutkan dengan keberanian. - Bahwa keberanian yang terluka tetap punya hak untuk berdiri. - Bahwa perlawanan tak hanya milik para pemenang, tapi juga milik para penjaga ingatan.
Saya pulang dengan langkah pelan. Tapi jiwa saya penuh gema. Palembang tak bicara banyak, tapi ia berhasil membuat saya mendengar—dengan segenap batin dan jiwa.
0 Comments