
Pertunjukan Tari Kontemporer ARA: Menggali Kembali Cerita Larasati
Pertunjukan tari kontemporer yang berjudul ARA: Chronicle of A Moving Clipping kini hadir sebagai bagian dari perayaan 100 tahun kelahiran sastrawan ternama Pramoedya Ananta Toer. Pertunjukan ini diadaptasi dari novel Larasati karya Pramoedya dan disajikan secara terbatas di Tjap Sahabat, Jalan Cibadak, Kota Bandung, Jawa Barat.
ARA dibuat melalui kolaborasi antara Galuh Pangestri bersama Tari Tarang Karuna serta tujuh penari perempuan lainnya. Proses pengerjaan pertunjukan ini memakan waktu selama satu tahun lima bulan, yang mencakup riset mendalam terhadap teks dan konteks novel Larasati. Galuh menjelaskan bahwa ARA bukan hanya sekadar alih wujud karya sastra ke panggung, tetapi juga upaya untuk merespons ulang cerita melalui gerakan tubuh.
“Larasati adalah novel yang ditulis puluhan tahun lalu, berlatar masa pasca-kemerdekaan. Saat membaca kembali, saya membayangkan kerja tubuh penari seperti menulis cerita atau sejarah baru,” ujarnya dalam konferensi pers di Tjap Sahabat.
Galuh menekankan bahwa gerakan para penari tidak hanya mengikuti ritme, tetapi juga menerjemahkan makna dari setiap paragraf dalam novel tersebut. “Penari di atas panggung seperti merangkai karangan. Gerak mereka menyampaikan sesuatu,” tambahnya.
Keterlibatan Galuh dengan novel Larasati bermula dari karakter tokoh utamanya yang digambarkan sebagai perempuan dengan kepribadian kuat, meskipun tidak seheroik Nyai Ontosoroh. Selain itu, ia tertarik pada kisah Larasati yang mengalami keterombang-ambingan akibat situasi eksternal yang tidak dapat dikendalikan. Hal ini membuatnya ingin menggali lebih dalam tentang sikap dan tindakan tokoh tersebut dalam menghadapi zaman.
Galuh menilai pentingnya kolaborasi dengan produser yang memahami konteks sosial dan sejarah dari karya sastra yang diadaptasi. Ia bekerja sama dengan Zen RS, seorang pembaca setia karya-karya Pram. “Zen bukan hanya produser, tapi partner intelektual. Ia tahu persis konteks sosial politik yang melatarbelakangi karya Pram, dan itu penting agar karya ini tidak berhenti di estetika semata, tetapi juga mengandung interogasi terhadap sejarah,” jelas Galuh.
Zen RS menambahkan bahwa tokoh Larasati sangat penting untuk dibicarakan kembali. Dalam adaptasi kali ini, tokoh tersebut dihadirkan dengan pendekatan korpografi. Gerakan para penari tidak dimaksudkan untuk menyampaikan pesan secara langsung, tetapi menciptakan medan tegangan antara getar dan makna, antara suara dan diam, serta antara keinginan untuk berbicara dan kebutuhan untuk menyela.
“Ini juga beda banget, nggak jadi naskah teater, tapi beneran diinterogasi. Kalau teman-teman pernah baca novelnya, dengan karyanya itu bakal beda banget,” katanya.
Salah satu tantangan dalam proses produksi adalah menyatukan para penari yang berasal dari latar belakang seni tari yang berbeda-beda. “Jadi ketika diminta untuk boleh nggak keresahan dan kegelisahan itu kamu interpretasikan dalam gerak. Banyak yang bingung. Cara jalan penari kontemporer dan penari tradisional itu beda besar,” tutur Zen.
Meski menghadapi tantangan, Zen mengaku sangat senang bisa menggarap pertunjukan ini karena berbeda dari produksi yang ada selama ini. “Saya merasa happy, saya merasa mereka bahagia, dan kalau mereka bisa menganggap ini karya yang baik, mereka happy, mereka berbahagia, berarti tugas saya sebagai produser juga sudah cukup, sudah cukup berhasil,” pungkasnya.
0 Comments