Himpunan Ratna Busana Surakarta Usulkan Museum Kebaya

Featured Image

Inisiatif HRB Surakarta dalam Melestarikan Kebaya

Himpunan Ratna Busana (HRB) Surakarta, Jawa Tengah, mengusulkan pendirian museum kebaya di Indonesia sebagai langkah strategis untuk melestarikan kebaya sebagai warisan budaya. Ide ini muncul dari keinginan untuk menjaga keberlangsungan kebaya yang merupakan bagian penting dari identitas bangsa. Wakil Ketua HRB Surakarta sekaligus salah satu anggota tim nasional pengusul Hari Kebaya Nasional, Raden Ayu Febri Hapsari Dipokusumo, menyampaikan bahwa saat ini, pendirian museum kebaya menjadi pekerjaan rumah yang perlu segera terealisasi.

Menurut Febri, kebaya bukan hanya milik Indonesia, tetapi juga berkembang di negara-negara lain seperti Malaysia dan Singapura. Ia menilai bahwa kehadiran museum kebaya akan menjadi bentuk perlindungan terhadap warisan budaya tersebut, terutama bagi generasi muda yang semakin jarang menggunakan kebaya dalam kehidupan sehari-hari.

Museum Kebaya di Keraton

Febri mengungkapkan bahwa Indonesia sudah memiliki "life museum" berupa keraton, tempat kebaya digunakan dalam upacara adat. Ia menjelaskan bahwa setiap kali ada acara tradisional, keraton selalu memakai busana tradisional termasuk kebaya. Meski demikian, ia menilai bahwa kebaya yang dipakai di keraton belum sepenuhnya dijadikan sebagai objek museum atau diliteraturkan.

“Kita punya life museum, dalam arti keraton setiap upacara kan masih pakai kebaya. Ibaratnya baju sehari-hari kita di keraton kan kebaya. Hanya saja ketika itu tidak dijadikan sebuah museum atau diliteraturkan, masyarakat nggak tahu,” ujarnya.

Museum kebaya, menurut Febri, akan menjadi sarana penting untuk menyimpan literasi tentang kebaya serta memperkenalkannya kepada generasi muda. Ia khawatir jika tidak ada upaya pelestarian, kebaya bisa semakin langka di masa depan.

Acara Sore Berkebaya dan Pasar Seni UMKM

Pada momen Hari Kebaya Nasional yang diperingati pada 24 Juli lalu, HRB Surakarta telah menyelenggarakan rangkaian kegiatan bertajuk Sore Berkebaya dan Pasar Seni UMKM. Acara ini diselenggarakan di Solo pada 26 Juli 2025. Kegiatan tersebut merupakan yang kedua kalinya diadakan sejak ditetapkannya Hari Kebaya Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2023.

Febri menjelaskan bahwa perayaan ini bukan hanya bentuk penghormatan terhadap warisan budaya, tetapi juga strategi nyata untuk menggerakkan ekonomi pelaku UMKM perempuan. “Kami ingin Hari Kebaya Nasional tidak hanya seremonial. Kami ingin ekonomi ikut bergerak,” katanya.

Dalam acara tersebut, sekitar 15 hingga 20 UMKM hadir, menjual produk-produk kreatif seperti kebaya, tas tenun, parfum, dan aksesoris khas perempuan. Selain itu, dalam sesi edukatif, Febri memperkenalkan berbagai jenis kebaya kepada pengunjung, mulai dari kebaya Kartini, kutubaru, encim, hingga kebaya janggan yang kini dikenal luas lewat serial Gadis Kretek. Kebaya labuh dari Pekanbaru dan kebaya noni dari Sulawesi Utara juga dipresentasikan sebagai simbol kekayaan budaya Nusantara.

Kebaya sebagai Identitas Budaya

Febri menekankan bahwa kebaya adalah penanda jati diri perempuan Indonesia, sebagaimana sari di India, hanbok di Korea, dan kimono di Jepang. “Kalau kita lihat perempuan India, kita tahu dia pakai sari. Perempuan Jepang dengan kimono. Tapi perempuan Indonesia? Kita ingin kebaya jadi jawabannya,” ujarnya.

Tantangan dalam Pengajuan UNESCO

Ia juga mengangkat kekhawatiran tentang kurangnya literatur mengenai kebaya yang menjadi tantangan dalam proses pengajuan pengakuan UNESCO. Saat ini, kebaya sedang diajukan bersama negara-negara ASEAN sebagai nominasi multinasional. Melalui HRB dan komunitas kebaya lainnya, Febri berharap semakin banyak perempuan Indonesia kembali mencintai kebaya sebagai pakaian sehari-hari, termasuk generasi muda.

“Berkebaya bukan hanya soal busana, tapi juga bagaimana kita membawa diri. Ia membentuk perilaku, sopan santun, dan rasa bangga terhadap budaya sendiri,” kata Febri.

Post a Comment

0 Comments