Ilmu, Keakraban, dan Keteladanan dalam Seminggu Bersama Prof Irwan Abdullah

Ilmu, Keakraban, dan Keteladanan dalam Seminggu Bersama Prof Irwan Abdullah

Pengalaman Berharga dalam Pelatihan Penulisan Artikel Internasional

Di akhir Juli 2025, saya bersama sembilan dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh mendapatkan kesempatan langka untuk belajar langsung pada Prof Dr Irwan Abdullah MSi, seorang Guru Besar Antropologi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Kesempatan ini bukan hanya menjadi momen penting dalam perjalanan akademik kami, tetapi juga memberikan pengalaman yang sangat berharga dan tak terlupakan.

Selama sepekan, kami mengikuti pelatihan penulisan artikel bereputasi internasional di IA Scholar Studio Foundation, Yogyakarta. Pelatihan ini lebih dari sekadar transfer ilmu, melainkan perjalanan batin, intelektual, dan kultural yang membangkitkan kembali semangat kami sebagai dosen dan calon guru besar. Menulis untuk jurnal Scopus adalah tantangan sekaligus impian bagi banyak akademisi di Indonesia, dan kami merasa sangat beruntung bisa mendapatkan pembelajaran penting ini.

Pelatihan yang kami ikuti tidak hanya tentang cara menulis biasa, tetapi juga upaya untuk mendobrak batas kenyamanan akademik. Kami diajak untuk berpikir tajam, menyusun gagasan dengan strategi naratif, serta meningkatkan rasa percaya diri agar bisa berdiri sejajar di forum ilmiah global. Namun, yang paling membekas bukan hanya metode yang diajarkan, melainkan sentuhan insani dari sang mentor.

Prof Irwan mengajarkan bahwa menulis tidak cukup hanya dengan ketekunan, tetapi juga kepekaan dan keberanian menyuarakan kebenaran dari sudut-sudut kehidupan yang sering terabaikan. Tidak hanya mengajar, beliau hadir, membaur, tertawa, dan menaruh hormat pada proses tumbuh kembang peserta. Kelas demi kelas bukan menjadi ruang tekanan, melainkan rumah keakraban. Paradigma awal yang kami bawa dari pengalaman pelatihan sebelumnya, yaitu suasana akan tegang dan melelahkan, berubah total saat dibimbing oleh Prof Irwan. Yang kami dapati justru kehangatan dan rasa persaudaraan yang tulus.

Tidak ada sekat akademik yang membuat kami merasa asing. Prof Irwan bukan hanya seorang pengajar, tetapi juga sahabat diskusi, penutur kisah, bahkan mitra canda tawa. Setiap sesi berjalan dalam suasana cair, tetapi berisi. Santai, tapi penuh makna. Kami berdiskusi soal metodologi, pilihan kata (diksi), hingga strategi membaca 'reviewer' dengan gaya khas beliau, merangkul, bukan menggurui.

Malam-malam panjang bukan menjadi beban bagi kami. Bahkan, sering kali kami enggan berhenti berdiskusi karena setiap pertemuan mengandung kebaruan wawasan. Ada saja 'novelty' yang muncul. Di antara seruput teh tarik dan obrolan santai, lahirlah semangat baru untuk tidak hanya menulis, tapi juga menyuarakan Aceh di panggung akademik dunia.

Mendengar nama Prof Irwan Abdullah, ingatan kami melayang kepada Prof Ibrahim Alfian, sejarawan besar yang juga berasal dari Aceh dan sama-sama Guru Besar UGM. Keduanya adalah manifestasi bahwa putra Aceh tidak hanya piawai merawat akar tradisi, tetapi juga unggul dalam percaturan akademik dunia. Harum nama Prof Irwan kini telah kami kenal bukan hanya lewat karya-karyanya, melainkan dari pengalaman langsung bersama beliau.

Kami melihat bagaimana kerendahan hatinya bersanding erat dengan kejernihan berpikir. Di tengah reputasi akademiknya yang gemilang, beliau tak enggan duduk bersila bersama kami, mendengarkan syair 'seumapa' yang kami persembahkan, dan bahkan mentraktir kami makan malam di Kana Kopi, warung mi Aceh yang terkenal di Yogyakarta. Di sanalah kami menyadari bahwa pengaruh seorang guru tidak lahir dari gelar, melainkan dari keteladanan sikap.

Pelatihan di IA Scholar Foundation bukan hanya ruang belajar akademik, melainkan juga ruang rekreasi intelektual. Aroma kuliner Aceh yang sesekali hadir di meja makan menambah rasa kekeluargaan. Kami sempat berjalan-jalan ke Malioboro, menikmati suasana kota pelajar, dan di pengujung pelatihan, suasana keakraban mencapai puncaknya. Malam terakhir menjadi simbol penutup yang indah, gelak tawa, teh tarik, dan syair yang dibawakan oleh Aris Munandar yang akrab kami sapa Syekh Muda menjadi persembahan kecil kami untuk guru besar yang telah menyalakan obor semangat di hati kami.

'Seumapa' itu bukan sekadar seni tutur, melainkan juga penanda rindu dan penghormatan yang dalam dari anak-anak Aceh untuk putra terbaiknya. Bukan tugas tambahan, pelatihan ini membuka mata kami bahwa menulis bukan tugas tambahan seorang dosen, melainkan bagian dari tanggung jawab intelektual. Kami sadar bahwa keberhasilan akademik tidak cukup hanya dengan sertifikat dan jabatan, tetapi juga dengan kontribusi nyata dalam membangun peradaban ilmu.

Kami pulang ke Aceh dengan hati yang penuh syukur. Kami membawa pulang tidak hanya catatan pelatihan, tetapi juga inspirasi hidup dan keyakinan baru. Kami ingin terus menulis, terus belajar, dan suatu saat, berdiri satu barisan dengan Prof Irwan, menyuarakan Aceh di panggung ilmu pengetahuan global. Terima kasih, Prof Irwan Abdullah. Engkau telah menunjukkan pada kami bahwa kecemerlangan akademik tak pernah kehilangan maknanya bila dibarengi dengan kasih dan kerendahan hati. Engkau adalah guru dalam arti sebenar-benarnya, tidak hanya menyampaikan, tetapi juga membangkitkan.

Terima kasih juga kami sampaikan kepada IA Scholar Foundation yang telah menjadi jembatan ilmu dan peradaban. Semoga kerja-kerja akademik semacam ini terus hidup dan meluas, membawa angin segar bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia. Akhir kata, dari sudut ruang belajar kami di ISBI Aceh, tepatnya di Kota Jantho, Aceh Besar, kami panjatkan harapan agar perjumpaan ini bukanlah akhir, melainkan awal dari jalan panjang kolaborasi, semangat keilmuan, dan silaturahmi batin yang tak lekang oleh waktu.

Post a Comment

0 Comments